Dugaan Jejak Kejahatan dan Daya Rusak PT. Harita Group di Pulau Obi

Potret Operasi PT Harita Group di pulau Obi. (sumber JATAM)

JAKARTA, Pilarmalut.com-  Harita Group merupakan perusahaan raksasa di Indonesia, yang bisnisnya bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam besar-besaran mencakup pertambangan nikel, batu bara, bauksit, hingga perkebunan sawit dan industri perkayuan.

Di Maluku Utara, dugaan jejak kejahatan PT. Harita Group menjalankan bisnis pertambangan nikel dengan mengkeruk isi perut Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan.

Berdasarkan catatan jejak kejahatan dan potret daya rusak PT. Harita Group yang dilansir di situs Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan,  penghancuran daratan dan wilayah laut Pulau Obi, telah terjadi sejak 2010 atau lima belas tahun lalu lewat operasi pertambangan nikel.

Menurut Jatam, kehadiran pabrik pengolahan nikel di Kawasi, sebuah desa tertua di Pulau Obi dengan luas mencapai sekitar 286 km2 yang dihuni oleh 1.118 jiwa, terbukti hanya membawa perangkap kemiskinan baru bagi masyarakat. Masyarakat Kawasi yang semula hidup sejahtera dari hasil kebun dan melaut, kini dihadapkan dengan berbagai ancaman keselamatan hidupnya. Mulai dari ancaman terhadap penurunan penghasilan akibat perampasan ruang produksi ekonomi, ancaman terhadap ruang pangan daratan dan laut, hingga ancaman perampasan ruang untuk membangun kehidupan melalui relokasi.

Pengusiran Paksa

Jatam menyebutkan, pada 2017-2018, Harita melakukan pengusiran paksa penduduk Kawasi untuk mendukung kegiatan pertambangan, pembangunan smelter nikel, dan infrastruktur lainnya oleh PT Trimegah Bangun Persada (TBP), yang merupakan bagian dari Harita Group. Perusahaan ini kerap menggunakan strategi yang curang, dengan melakukan penerobosan terlebih dahulu sebelum memulai negosiasi. Taktik semacam ini tidak hanya menyebabkan kerugian bagi warga, tetapi juga membatasi pilihan mereka untuk mempertahankan tanah yang telah dihancurkan dan dikelilingi oleh aktivitas pertambangan.

Selain itu, perusahaan mengklaim lahan yang diambil secara paksa tersebut adalah milik negara, meskipun warga telah menguasai lahan tersebut selama puluhan tahun dan bahkan membayar pajak atasnya. Warga yang digusur, dibuat tak memiliki pilihan selain bersepakat untuk pindah ke perumahan Eco Village yang dikelola oleh perusahaan. Eco Village ini terletak sekitar lima kilometer di selatan Kawasi. Pemerintah Halmahera Selatan dan pihak perusahaan mengklaim relokasi warga tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama, dengan klaim 60% masyarakat mendukung upaya tersebut. Kesepakatan tersebut tertera dalam MoU yang ditandatangani antara Pjs Kepala Desa Kawasi dan masyarakat setempat.

Bagi warga yang bersikukuh menolak relokasi, akan dihadapkan pada intimidasi yang Perusahaan berdalih pemindahan warga dilakukan karena terlalu dekat dengan pabrik dan berada di zona rawan gempa.

Ironisnya, pemerintah setempat justru berpihak pada perusahaan. Untuk melegitimasi relokasi, alasan lain yang kerap dilontarkan adalah lingkungan Kawasi kumuh, tidak teratur, penuh dengan sampah, tidak sehat, dan sering terjadi konflik. Namun, warga menolak alasan-alasan tersebut yang terkesan mengada-ada.

Selama ratusan tahun, warga Kawasi hidup secara damai dan teratur, berdampingan harmonis dengan lingkungannya. Justru aktivitas pertambangan yang mengubah wajah Kawasi menjadi kumuh, penuh dengan hamburan sampah, menciptakan polusi udara, dan mengancam keselamatan mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *